the story of a lady and a young woman

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Filed under: We are Mommies | Tags: | December 23rd, 2005
Post

Published in : We are Mommies Homepage
Date : September 1, 2005

Teman 1: Sehari-hari kamu melakukan apa saja di rumah? (ekspresi mukanya ramah setelah lama tidak bertemu)
Saya : Banyak lah…(sambil tersenyum dan mengerlingkan mata sebelah, karena sudah mengetahui arah pembicaraan)
Teman 1: Terperangah (ekspresi muka seperti melihat mahluk ruang angkasa)

Saya : Kamu sudah menonton film ‘Spanglish’ ?
Teman 2: Belum, tapi saya tahu kalau film ini berdurasi panjang, sekitar 2 jam.
Saya : Oh ya? Saya tidak menyadarinya sama sekali.
Teman 2: Ya iya, karena kamu tidak mempunyai hal lain yang harus dikerjakan.
Saya : (tersenyum dan mengerlingkan mata sebelah, karena sudah mengetahui arah pembicaraan)

Teman 3: Sehari-hari kamu melakukan apa saja ?
Saya : Wah, banyak lah…
Teman 3: Saya bisa mati kalau jadi kamu.
Saya : Kenapa?
Teman 3: Hanya tinggal di rumah dan tidak melalukan apa-apa.
Saya : (tersenyum dan mengerlingkan mata sebelah, karena sudah mengetahui arah pembicaraan)

Kira-kira begitulah sekelumit kejadian yang kerap saya alami bila lawan bicara akhirnya mengetahui pekerjaan utama saya. ‘Ya, saya bangga akan pekerjaan menjadi Ibu Rumah Tangga’ walau banyak juga anggapan lain (baca : miring) selain kejadian diatas seperti:
– Menganggap remeh
– Memandang rendah
– Menganggap seperti tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali
– Memandang seperti mahluk aneh dari planet yang terletak setelah planet Pluto
– Tercengang karena kok Saya dapat menikmatinya, kok bisa – dan masih banyak anggapan ‘miring’ lainnya.

Ibu Rumah Tangga. Pekerjaan yang saya lakukan hingga kini sejak bulan Agustus 2000. Saat saya memutuskan untuk berhenti bekerja, suami saya pernah mengatakan pada saya bahwa dalam kehidupan berumah tangga, kami sebagai pasangan memiliki peran dan porsinya masing masing. Sebagai ibu rumah tangga, Saya tetap memberi kontribusi terhadap keluarga – hanya saja tidak dalam bentuk materi.

Masih lekat dalam ingatan, saat Saya menjalani hari pertama menjalani pilihan sebagai ‘pengangguran’ di Bali di bulan Agustus tahun 2000. Bangun pagi masih pada jam yang sama ketika masih rutin bekerja. Ritual pagi pun masih juga berjalan secara otomatis. Biasanya setelah ritual pagi selesai saya langsung berangkat ke kantor. Namun pagi itu, sepertinya ada sesuatu yang tidak berjalan dengan semestinya tapi nyata. Ritual pagi telah selesai tapi berhenti hingga di situ saja. Saya tidak pergi kemana-mana, aneh sekali sepertinya. Rasanya ada sesuatu yang hilang.

Ada sesuatu yang salah
Sesuatu yang aneh
Sesuatu yang tidak biasa
Sesuatu berjalan dengan tidak sebagaimana mestinya

Ya, seharusnya setelah ritual pagi berjalan, Saya langsung ke kantor. Tapi, hari itu jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan Saya masih saja di rumah. Jam 9 pagi yang biasanya saya dituntut untuk sudah berada di ruang rapat dan bersiap-siap untuk menghadiri daily morning briefing, namun saat itu Saya malah sedang menikmati secangkir kopi di teras belakang rumah. Sambil menyeruput kopi panas, Saya menikmati keindahan pagi dengan ditemani Kompas dan The Jakarta Post yang biasanya Saya dilahap menjelang tidur. Belakangan Saya menyadari bahwa betapa indah hari yang sedang berjalan walau tidak bekerja. Ada satu kenikmatan tersendiri yang sulit terungkapkan.

Beberapa lama kemudian setelah terbiasa dengan kondisi bahwa “I am no longer a working mommy”, mulailah Saya menyusun hal-hal yang selama ini ingin sekali dilakukan. Sesuatu yang di depan mata namun waktunya tidak pernah cukup untuk dikerjakan ketika masih bekerja. Beberapa list yang berhasil terkumpul diantaranya membuat taman di teras belakang dan depan, mengecat dinding ruang tengah yang masih polos dengan busa cat khusus agar bermotif.

Kemudian lanjut menjadi supir pribadi putri tercinta, yang sebelumnya selalu berangkat dengan bis sekolah. Uang bulanan untuk bis sekolah akhirnya beralih menjadi ongkos bensin mobil untuk antar jemput. Keuntungannya, hubungan kami menjadi makin akrab dan dekat berhubung jarak antara rumah dan sekolah yang cukup jauh dan memakan waktu lama. Di jalan kami berdua bisa mengobrol banyak hal. Dan keuntungan lainnya adalah Saya mendapat banyak teman baru di sekolah anak Saya. Suasana suasana pertemanan baru dengan para Mommies. Sekarang pun masih ada ribuan hal lagi yang saya belum dapat lakukan – dua hal diatas hanya diantaranya saja.

Jadi kalau orang berpikir kami (baca : ibu rumah tangga) mempunyai banyak waktu luang, menurut Mommies bagaimana?

Pekerjaan sehari-hari Saya rasanya tidak ada habis-habisnya. Padahal hanya tinggal di apartmen mungil. Terbayang teman ibu rumah tangga lainnya dan yang juga sedang merantau dan tidak ada assistant a.k.a pembantu, dimana semuanya dikerjakan sendiri. Sudah dapat dipastikan, pekerjaan rumah saja pastinya selalu ada dan tidak pernah ada habisnya. Belum lagi pekerjaan tetap seperti mengurus anak, suami, binatang peliharaan dan juga belajar hal-hal baru lainnya seperti belajar bahasa atau kursus dan lain-lain. Belum menyebut ibu rumah tangga lainnya yang juga sedang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih lanjut dan ibu rumah tangga yang mencoba bekerja sampingan dari rumah. Rasanya pun tanpa penjelasan, semestinya sudah dapat dibayangkan berapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh mereka yang berkategori di atas dengan waktu serupa 24 jam. At the end of the day, hey, we have millions things to do, don’t we? I do.

Jadi, seandainya ada Moms yang sedang berpikir untuk berhenti bekerja dan takut akan profesi ini, jangan takut. You will enjoy it in so many ways. Atau kebetulan pekerjaan kita sama dan mengalami situasi seperti di atas, tidak perlu bersikap reaktifan : don’t waste your energy and hurt your feeling. Take it easy.

I am enjoying my job so much, proud and very happy too.

(Sylvie Gill)

2 Responses

  • Pingback: Sri

  • Pingback: Hernik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *